Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Namun, Indonesia, Oman, dan Turkmenistan patut "menggugat" AFC lantaran menciptakan persaingan tak adil dalam perebutan posisi runner-up.
Mundurnya sejumlah tim membuat 10 grup kualifikasi menjadi tak imbang, yaitu terdapat empat grup berisi lima tim, empat grup berisi empat tim, dan dua grup berisi dua tim.
Perbedaan jumlah tersebut membuat kompetisi menjadi tak adil dengan paling tidak dua alasan.
Pertama, tim dalam grup berisi lima tim harus bertanding satu atau dua pertandingan lebih banyak dibanding grup yang berisi tiga tim atau dua tim.
Perbedaan jumlah membuat tim di Grup A-B-C-D harus menghabiskan energi lebih banyak, padahal poin yang akan dihitung hanya dalam dua laga melawan tiga besar di grup.
Dalam kasus Indonesia, tim Garuda harus memerah keringat melawan Guam dan Palestina, meski poin yang akan dihitung cuma laga melawan Malaysia dan UEA.
Tentu saja dalam kasus Indonesia diperburuk keputusan Bima Sakti yang tak merotasi tim, sehingga tim kelelahan saat menghadapi Malaysia dan UEA.
Kedua, perbedaan kualitas tim tiga besar di masing-masing grup Kualifikasi Piala Asia U-17.
Tersingkirnya tiga runner-up di grup berisi lima tim secara tidak langsung menjelaskan terdapat ketimpangan di tiga besar 10 grup kualifikasi.
Sebagai contoh, dua tim teratas di klasemen runner-up menorehkan produktivitas impresif, yaitu Korea Selatan (+9) dan China (+7).
Produktivitas itu terjelaskan lantaran mereka cuma perlu menghadapi Brunei (Grup J) dan Kamboja (Grup G) sebagai tim peringkat tiga.
Bandingkan dengan Indonesia yang harus menghadapi UEA (Grup B), atau Turkmenistan yang harus menghadapi Yordania (Grup A).
Situasi di atas telah membuat negara yang lolos ke Piala Asia U-17 bisa jadi adalah tim yang lebih buruk dibanding tim yang tersingkir di babak kualifikasi.
Di masa depan, AFC semestinya melakukan drawing ulang peserta grup kualifikasi, agar tak ada perbedaan jomplang seperti edisi kali ini.